PT. Local Governance (LOGOV) Celebes merupakan lembaga riset privat yang berbasis di Makassar. Berisi sejumlah dosen dan peneliti dari berbagai bidang seperti ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, sosial ekonomi pertanian, hukum, kelautan dan perikanan, administrasi publik, dan sosial politik, yang telah bekerja sekian lama sebagai sebuah tim. Lembaga ini melayani sejumlah kegiatan akademis seperti riset, konsultan, pelatihan, publikasi, dan sejumlah layanan terkait lainnya.
Oleh: Syahril
Peneliti Logov Celebes
Kemiskinan dan ketimpangan sosial merupakan masalah yang paling dikhawatirkan oleh kebanyakan orang Indonesia saat ini, menurut temuan dari lembaga riset Ipsos Global bertema What Worries the World tahun 2022. Temuan ini seperti berbanding terbalik dengan klaim pemerintah yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut rilis data BPS, persentase penduduk miskin Indonesia memang mengalami penurunan, tahun 2022 menyentuh angka 9,54% dengan jumlah mencapai 26,16 juta. Begitupun dengan ketimpangan pendapatan. Dalam beberapa tahun terakhir, indeks gini Indonesia cenderung turun, sampai tahun 2022 angkanya sebesar 0,384. Jika pemerintah mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan, lantas apa yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia khawatir dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan?
Hasil riset Ipsos Global dan data BPS menunjukkan dua sudut pandang kemungkinan kontrakdiktif. Jika benar pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan, seharunsya persepsi masyarakat lebih optimis, bukan justru sebaliknya. Perbedaan data tersebut memunculkan hipotesis bahwa pemerintah memang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan berdasrakan klaim statistik semata, tapi mengabaikan kualitas. Atau masyarakat memang memandang pemerintah sejauh ini belum mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan meski secara statistik terlihat berhasil.
Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan dan ketimpangan salah satu paramaternya adalah alokasi anggaran. Selama 10 tahun terakhir, anggaran pengentasan kemiskinan atau disebut oleh pemerintah sebagai anggaran perlidungan sosial sangat fluktuatif, namun cenderung naik. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tahun 2022 alokasi anggaran perlindungan sosial dalam APBN mencapai Rp. 431,51 triliun, naik 17,27% dibandingkan anggaran tahun 2021. Secara nominal angka tersebut terlihat cukup tinggi, namun kenaikannya relatif kecil dibandingkan tahun 2018 dan 2020 yang masing-masing mencapai 35,63% dan 61,48%. Kenaikan impresif anggaran kemiskinan tahun 2020 untuk mencegah kenaikan penduduk miskin akibat pandemi Covid-19.
Angka nominal anggaran pengentasan kemiskinan yang digelontorkan oleh negara secara relatif sebenarnya cukup besar. Jika dikalkulasi secara sederhana, total anggaran pengentasan kemiskinan tahun 2022 dibagi dengan jumlah penduduk miskin tahun yang sama, maka diperoleh rerata anggaran kemiskinan per orang sebesar Rp. 16.367.953 per orang per tahun. Jika dibagi per bulan, maka rerata penduduk miskin Indonesia seharusnya menerima uang dari pemerintah sebesar Rp. 1.363.996. Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan tertinggi di Indonesia menurut BPS adalah garis kemiskinan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai Rp. 801.437, lebih tinggi dari DKI Jakarta. Tentu provinsi lain jauh lebih rendah. Garis kemiskinan paling rendah ada di Provinsi Sulwesi Selatan hanya Rp. 399.755. Jika dikomparasi antara rerata anggaran kemiskinan per orang per bulan dengan garis kemiskinan tertinggi sekalipun, nilai nominal anggaran tersebut masih jauh lebih tinggi. Alokasi anggaran kemiskinan pasti jauh lebih besar angka diatas jika ditotal dengan anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Membandingkan kalkulasi ini dengan tren penurunan penduduk miskin, akan terasa bahwa pertumbuhan penduduk miskin di Indonesia sangat lambat padahal anggaran cukup besar.
Salah satu persoalan mendasar adalah program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terlalu banyak, cenderung tidak tepat sasaran, dan tidak berkaitan langsung dengan masalah kemiskinan. Ada 22 program pengentasan kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah, sebagian berbentuk uang tunai yang ditransfer ke rekening masyarakat miskin, sebagian berbentuk barang, sebagian berbentuk bantuan modal usaha, sebagian berbentuk bantuan dana pendidikan, dll. Beberapa dari bantuan itu bersifat jangka panjang efenya dan tidak langsung seperti bantuan dana pendidikan dan bantuan modal usaha, sementara persoalah kemiskinan ini masalah “perut” dan bersifat jangka pendek. Jangankan berfikir tahunan, mungkin sebagian rumah tangga miskin harus berfikir apa yang akan mereka makan besok hari. Program pengentasan kemiskinan model semacam ini biasanya tidak efektif. Misalnya program pendidikan gratis dibeberapa daerah, tak sepenuhnya membuat anak-anak dari rumah tangga miskin mau mengikuti pendidikan formal sebab bagi mereka membantu orang tua mecari uang buat makan sehari-hari jauh lebih penting.
Sama halnya dengan bantuan modal usaha. Uang yang diberikan oleh pemerintah untuk membantu modal usaha kepada si miskin dengan pola fikir jangka pendek (apa yang bisa dimakan hari ini), tentu tidak akan efektif. Sementara untuk bantuan uang, isunya masih diseputar penargetan (tepat atau tidak tepat sasaran). Bahkan ironisnya, menurut statement Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, anggaran kemiskinan hampir Rp. 500 triliun habis hanya untuk hotel dan studi banding.
Besaranya anggaran kemiskinan tapi tren penurunan kemiskinan sangat lambat seharusnya menjadi bahan evaluasi besar-besaran bagi pemerintah. Hal mendasar yang mesti diperbaiki pemerintah pertama adalah cara pandang tentang kemiskinan. Cara pandang pemerintah tentang kemiskinan terlalu rumit sehingga program yang dibuat juga sama rumitnya. Padahal memahami kemiskinan cukup dengan cara sederhana yaitu “lack of cash” (kekurangan uang). Jika dipandang bahwa seseorang miskin karena kekurangan uang untuk dibelanjakan maka program harusnya tujuanya satu saja yaitu memberikan mereka uang untuk dibelanjakan.
Hal kedua yang nampaknya juga perlu dibenahi oleh pemerintah adalah cara pandang bahwa kemiskinan itu dampak dari berbagai faktor. Menurut pemerintah kemiskinan itu disebabkan oleh ragam faktor seperti rendahnya kewirausahaan, rendahnya tingkat pendidikan, sifat malas, dan segala macam penyebab lainnya. Berangkat dari pemahaman inilah kemudiaan dirumuskan berbagai program untuk mengitervensi hal-hal yang dianggap menyebabkan kemiskinan. Seharunya cara pandanya adalah melihat kemiskinan sebagai akar masalah bukan dampak dari beragam masalah. Akar masalah kemiskinan adalah “lack of cash” (kekurangan uang). Kekurangan uang inilah yang menimbulkan banyak masalah salah satunya tingkat pendidikan yang rendah.
Ada banyak studi menunjukkan bahwa kemiskinan berpengaruh terhadap cara berfikir seseorang. Jika mereka miskin, cara berfikirnya, pengambilan keputusannya cenderung buruk dan bersifat jangka pendek dibandingkan seseorang yang tidak miskin. Seorang miskin akan menganggap pendidikan tidak begitu penting dibandingkan cari uang untuk makan hari ini, sehingga meski pemerintah menanggung semua biaya pendidikan anak miskin, mereka tetap tak mau sekolah. Seorang miskin sulit untuk berwirausaha meski telah diberikan pelatihan berkali-kali, bahkan diberikan bantuan peralatan, karena pikiran mereka fokus pada apa yang bisa dimakan hari ini, bukan berfikir rumit tentang bisnis dan kewirausahaan. Pada prinsipnya jangan mengajak penduduk miskin untuk berfikir jangka panjang karena masalah mereka adalah masalah jangka pendek.
Setelah persoalan cara berfikir diubah, maka pemerintah akan sampai pada satu kesimpulan bahwa program pengentasan kemiskinan yang tepat adalah program yang bertujuan untuk menambah uang belanja masyarakat miskin. Dan oleh karena itu, pemerintah tak perlu merumuskan banyak program pengentasan kemiskinan.
JL. ANCE DG. NGOYO NO. 8/D
MAKASSAR, SULAWESI SELATAN
INDONESIA
90231
+62-411-4679343
+62 821 5233 9045
+62 852 4120 4400
Surel: office@logovcelebes.id
logovcelebes@gmail.com
FOLLOW
PT. Local Governance (LOGOV) Celebes merupakan lembaga riset privat yang berbasis di Makassar. Berisi sejumlah dosen dan peneliti dari berbagai bidang seperti ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, sosial ekonomi pertanian, hukum, kelautan dan perikanan, administrasi publik, dan sosial politik, yang telah bekerja sekian lama sebagai sebuah tim. Lembaga ini melayani sejumlah kegiatan akademis seperti riset, konsultan, pelatihan, publikasi, dan sejumlah layanan terkait lainnya.