Cetak halaman ini
Kamis, 25 Juni 2020 11:07

Pendekatan Growth Diagnostic dalam Menganalisa Pertumbuhan Ekonomi

Ditulis oleh
Nilai butir ini
(0 pemilihan)

Pemerintah dalam dokumen RPJMN 2020-2024 menentukan lima prioritas pembangunan nasional untuk lima tahun kedepan yaitu, fokus pada perbaikan kualitas dan mental sumberdaya manusia, memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun dan melanjutkan pembangunan untuk proyek yang sudah berjalan, birokrasi yang melayani dengan tidak rumit, cepat, dan akurat, regulasi yang tidak mempersulit, dan transformasi ekonomi. Lima isu tersebut akan menjadi prioritas agenda pembangunan nasional jangka menengah.

Lima agenda prirotas tersebut merupakan hasil dari diagnosis Kementerian PPN/Bappenas tentang kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data indikator makroekonomi menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh relatif stagnan pada level 5%, padahal jika dibandingkan dengan Era Orba, Indonesia mampu mencatat peningkatan nilai tambah rerata 7-9% pertahun. Kondisi ini memunculkan dua argumentasi, pertama, apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah sampai pada kondisi golden rule, sebuah kondisi yang digambarkan oleh Robert Solow sebagai periode stagnasi pertumbuhan akibat pemanfaatan sumberdaya yang telah sampai pada titik optimum. Atau, kedua, stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, tapi lebih cenderung mengarah pada adanya sumbatan yang memicu kemampuan sektor riil menghasilkan nilai tambah menjadi terganggu. Hasil analisis awal pemerintah cenderung pada narasi kedua yaitu menyimpukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia harusnya masih bisa tumbuh diatas 5%.

Hambatan tersebut perlu diidentifikasi lebih detail untuk menemukenali kendala mengikat (most binding constrain) yang menjadi trigger pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah, melalui Kementerian PPN/Bappenas menggunakan pendekatan yang populer dikenal dengan Growth Diagnostics sebagai instrumen mengidentifkasi faktor paling menghamat laju pertumbuhan. Pendekatan Growth Diagnostics ini pertama kali diperkenalkan oleh tiga pakar ekonomi yaitu Ricardo Hausmann, Dani Rodrik, dan AndrÈs Velasco melalui artikel mereka berjudul “Growth Diagnostics”. Melalui tulisannya, ketiganya memperkenalkan pendekatan baru untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi sebuah negara secara lebih detail hingga mengerucut pada beberapa isu yang dianggap sebagai hambatan utama pertumbuhan.

Pendekatan ini dinilai sangat komprehensif karena bukan hanya multisektor (melibatkan banyak stakeholders), tapi juga membutuhkan beragam perangkat analisis untuk sampai pada hambatan utama. Perangkat analisis yang beragam tersebut dipakai untuk mengidentifikasi apakah sebuah isu memenuhi empat kriteria untuk disebut sebagai most binding constrain, yaitu shadow price (ongkos dari masalah tersebut sangat besar), signifikansi dari penyelesaian masalah (apakah berdampak luas atau tidak), sudah ada pelaku/stakeholder yang berusaha mencari “jalan pintas” mengatasi masalah tersebut, dan pelaku ekonomi yang terlibat dalam masalah tersebut akan sulit berkembang.

Hasil diagnosis Kementerian PPN/Bappenas dengan mengunakan kerangka Growth Diagnostics menemukan dua the most binding constrain yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu pertama, regulasi yang tumpang-tindih dan relatif tertutup, dan kedua adalah rendahnya kualitas institusi, terutama pada praktik koordinasi kebijakan. Selain dua isu tersebut, hasil diagnosis juga menemukan tiga masalah yang menjadi binding constrain, yaitu masih rendahnya ketersediaan tenaga kerja terampil, infrastruktur yang belum sepenuhnya mampu membangun konektivitas, serta rendahnya penerimaan perpajakan dan belanja negara. Temuan diagnosis ini menjadi dasar pemerintah menentukan lima agenda prioritas pembangunan jangka menengah 2020-2024, terutama pada aspek regulasi, birokrasi, dan infrastruktur.

Melihat relevansi pendekatan Growth Diagnostics dipakai untuk mengidentifikasi kendala utama penghambat pertumbuhan, maka pendekatan ini perlu diperluas penggunaanya ke daerah, hingga level kabupaten/kota. Pendekatan ini sangat penting bagi daerah, terutama dalam mengisi bab kerangka ekonomi makro daerah, baik pada dokumen perencanaan lima tahunan maupunan tahunan. Namun, karena pendekatan ini tidak hanya mengharuskan pelibatan banyak pihak, tapi juga juga mensyaratkan ketersediaan data yang berkualitas. Saat ini, hampir semua daerah di Indonesia (terutama pada level kabupaten/kota), masih bermasalah dengan ketersediaan data. Andaikan pun datanya tersedia, seringkali kualitasnya masih dipertanyakan, terkhusus data yang diproduksi oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Itu sebabnya beberapa strategi dan agenda prioritas dalam dokumen perencanaan daerah seringkali tidak berkaitan dengan masalah utama, karena disusun ditengah keterbatasan dan rendahnya kualitas data.

Baca 5473 kali
Risvan Rizaldi

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Terkini dari Risvan Rizaldi

Item Terkait

84 komentar