Bulan Desember tahun 2018, Cina memperingati gerakan reformasi ekonomi yang telah berlangsung sejak tahun 1978. Gerakan reformasi ini dianggap berhasil karena mampu mengeluarkan ratusan juta penduduk Cina dari kemiskinan ekstrim dan membuat ekonomi negara ini menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Menurut data IMF, tahun 2018 valuasi ekonomi Cina menyentuh angka US$ 14 Triliun, berada diatas Jepang, Jerman, United Kingdom, Prancis, dan India.
Dalam acara ceremonial, Presiden Xi Jinping menceritakan kondisi masyarakat Cina 40 tahun lalu dan menunjukkan keberhasilanya memimpin Cina hingga saat ini. Empat dekade lalu, Cina termasuk negara dengan tingkat kemiskinan terparah di dunia. BBC (2018) melaporkan bahwa tahun 1978 tingkat kemiskinan di Cina hampir mencapai 100%, menggambarkan bahwa mayoritas penduduk Cina menjalani kehidupan serba sulit. Karena kemiskinan, masyarakat sulit memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Cina tahun 1978 merupakan periode paling sengsara sepanjang Cina berdiri.
Sebagai negara termiskin, kondisi kesehatan dan pendidikan penduduk Cina tahun 1978 berada pada periode terburuk. Rerata penduduk Cina 40 tahun lalu hanya hidup 66 tahun dan sebagian besar penduduk usia sekolah tidak mendapat kesempatan untuk sekolah. Buruknya kualitas sumberdaya manusia turut memperparah perekonomian Cina, sehigga pada periode itu GDP hanya 148,2 Miliar USD.
Setelah 40 tahun berlalu, semua kesulitan tersebut berhasil diatasi. Saat ini kualitas SDM Cina jauh lebih baik dilihat dari naiknya usia harapan hidup dan membaiknya kualitas pendidikan. Cina menjadi negara yang paling banyak mengirimkan mahasisnya untuk belajar di universitas terbaik di dunia. Tahun 2010 tercatat sebanyak 284.700 orang pelajar Cina menempuh pendidikan di luar negeri, enam tahun kemudian angkanya naik dua kali lipat hingga mencapai 540.000 orang.
Saat ini, Cina juga menjadi negara yang paling ramah terhadap investasi asing. Tahun 2017, FDI Cina mencatat angka sebesar 878 miliar yuan atau 135 miliar USD, naik 7,9 % dibandingkan tahun sebelumnya. Di kawasan Asia, lebih dari 50% aliran modal asing masuk ke Cina, sementara selebihnya terbagi ke banyak negara lainya. Derasnya arus modal masuk (direct investment) membuat perekonomian negara ini menempati posisi kedua terbesar di dunia dan tertinggi di Asia.
Pertengahan tahun 2018, Cina menjadi menarik perhatian dunia, termasuk negara-negara berkembang karena keberanianya meladeni Amerika Serikat dalam perang dagang. Konflik yang menurut para ekonom telah menggangu perekonomian global berawal dari tuduhan Presiden U.S kepada 16 negara mitra dagang yang dianggap berbuat curang sehingga membuat neraca perdagangan U.S mengalami defisit. Perang dagang ini sekaligus mengukuhkan pandangan bahwa Cina merupakan kekuatan ekonomi baru dan diprediksi akan mengganti dominasi U.S.
Titik balik perekoonomian Cina dimulai setelah Mao Zedong. Selama memimpin, Mao menerapkan pendekatan Marxisme-Leninisme dalam kebijakan ekonomi politiknya. Dalam masa kepemimpinanya, Mao menghadapi banyak kegagalan dan membuat beberapa kebijakan kontroversial. Ia pernah menangkap 700.000 orang kaum intelektual Cina dan memaksa mereka kerja di daerah pedesaan. Ia juga tercatat pernah menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk memberangus gerakan kontra-revolusioner yang dibangun oleh Garda Merah, hingga menimbulkan perang saudara dan menelan banyak korban.
Kegagalan Mao paling diingat hingga saat ini adalah kebijakan “Lompatan Jauh Ke Depan”. Ini merupakan program yang disusun oleh Partai Komunis Tiongkok dengan tujuan membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi dengan memanfaatkan tenaga kerja murah. Program ini akhirnya gagal dan menyebabkan sekitar 20 juta orang mati kelaparan.
Delapan tahun setelah kematian Mao, para ekonom muda Cina berkumpul di hutan bamboo di daerah Moganshan untuk membahas reformasi ekonomi Cina. Target mereka tidak hanya memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, tapi menentukan strategi mengejar ketertinggalan dari negara-negara barat. Strategi tersebut dirumuskan dalam Academic Symposium of Middle Aged and Young Economist tahun 1984.
Para peserta simposuim sepakat membiarkan mekanisme pasar bekerja dan mengingatkan para birokrat untuk tidak menghambat kinerja pasar. Menurut Philip P. Pan (2018), pada suatu malam, peserta mengusulkan agar industry di Cina dibolehkan menentukan sendiri berapa harga produk mereka. Ini dianggap sebuah reformasi sebab tidak sepenuhnya mengubah sistem ekonomi politik terpusat ala Cina tapi mengkolaborasikan antara sistem tersebut dengan mekanisme pasar yang cenderung liberal. Ekonom Carl E. Walter dan Fraser J. T. Howie menamai kolaborasi ini sebagai red capitalism.
Kombinasi antara Marxisme dan Kapitalisme nampaknya berhasil membuat ekonomi Cina maju dan menaikkan standar hidup penduduk. Sektor industri diberikan insentif kelonggaran pajak, menentukan sendiri berapa banyak output yang akan mereka produksi, dan mengkalkulasi sendiri berapa besaran harga jual dari setiap produk mereka. Oleh karena itu, aliran FDI ke Cina lebih besar dibandingkan negara-negara lain di Asia, meskipun semua investor paham bahwa Cina masih penganut paham komunisme.
Berbeda dengan Korea Utara, Cina paham betul bahwa kesejahteraan ekonomi tidak mungkin muncul ketika pasar ditindih oleh kebijakan negara. Selain itu, Xi Jinping juga mampu memosisikan pasar dan negara secara proporsional, seturut dengan panduan Adam Smith yang ditulis 242 tahun lalu tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran bangsa. Meskipun begitu, sisi otoritarian dari pemerintah Cina masih dapat dilihat sampai sekarang. Misalnya pembredelan gerakan komunis muda hingga pemasangan teknologi facial recognition disemua sudut kota (hingga di toilet) untuk mengawasi gerak-gerik penduduk.
Penduduk pada umumnya dilarang mencampuri urusan politik. Seperti dicatat oleh Amy Qin dan Javier C. Hernandez ketika melakukan wawancara dengan penduduk miskin Cina. Dalam wawancara tersebut, Ms. Gong (responden) mengatakan “saya tidak peduli dengan pemimpin” dan “pemimpin pun tidak peduli dengan saya”. Petikan wawancara ini menggambarkan bahwa penduduk miskin seperti Ms. Gong tidak mau ikut campur dalam urusan politik, apalagi sampai melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Mayoritas keluarga miskin di Cina hanya berfokus pada pendidikan dan berusaha agar anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikanya hingga jenjang perguruan tinggi.
Pemerintah Cina sangat fokus pada pendidikan tinggi generasi muda dan membangun sistem pendidikan tinggi berkualitas, dengan seleksi ketat. Pemerintah menyediakan banyak peluang bagi generasi muda Cina yang ingin berkembang untuk keluar negeri menempuh pendidikan di universitas terbaik di dunia. Tak hanya itu, selepas para pemuda menyelesaikan studinya di luar negeri, mereka kembali ke negaranya untuk memberikan kontribusi. Pemerintah memastikan bahwa hanya orang-orang berkualitas yang akan menempati posisi strategis di Cina, tidak ada unsur jaringan keluarga dan pengurus partai. Cina membangun merit sistem, dimana “right man on the right place”. Olehnya itu, wajar jika “red capitalism” Cina berhasil menempatkan negara ini sebagai super power yang sebentar lagi akan menggantikan dominasi U.S.
Syahril
*Tulisan ini telah dimuat dalam media online Qureta