LOGOV CELEBES

PT. Local Governance (LOGOV) Celebes merupakan lembaga riset privat yang berbasis di Makassar. Berisi sejumlah dosen dan peneliti dari berbagai bidang seperti ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, sosial ekonomi pertanian, hukum, kelautan dan perikanan, administrasi publik, dan sosial politik, yang telah bekerja sekian lama sebagai sebuah tim. Lembaga ini melayani sejumlah kegiatan akademis seperti riset, konsultan, pelatihan, publikasi, dan sejumlah layanan terkait lainnya.

Artikel

Muhammad Afif Sallatu

Muhammad Afif Sallatu

Salah satu upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya di level pendidikan dasar dan menengah, adalah pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun implementasi BOS menuai banyak kritik, terutama menyangkut manajemen anggaran yang tidak tepat sasaran, sehingga berpotensi menghambat pencapaian tujuan kebijakan BOS. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terhadap pengeluaran dan nilai siswa.

Dengan menggunakan data panel dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) gelombang 4 dan 5, studi ini menganalisis dampak dana BOS terhadap pengeluaran dan nilai siswa. Hasil analisis dengan metode Difference-in-Difference (DID) ditemukan bahwa pemberian BOS berdampak pada peningkatan nilai siswa. Peningkatan 1 (satu) persen dana BOS, secara rata-rata akan meningkatkan 2,4 poin nilai UN/UAN siswa. Sementara itu, tidak ditemukan bukti pengaruh dana BOS terhadap pengeluaran siswa. Salah satu tujuan dana BOS adalah mengurangi pengeluaran siswa. Hasil penelitian ini mendorong perlunya pemerintah mengevaluasi peruntukan dana BOS di sekolah, sehingga dapat mengurangi beban pengeluaran siswa.

Penjelasan lebih lengkap dapat diunduh pada lampiran di bawah ini.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah mahar/hadiah perkawinan. Studi ini menggunakan sampel individu perempuan (N=1.532) dari data The Indonesia Family Life Survey (IFLS) yang tinggal di tujuh provinsi di Indonesia bagian timur.

Dengan menggunakan regresi multivariat, hasil studi ini menemukan bahwa status ekonomi keluarga perempuan dan tingkat pendidikan perempuan berpengaruh positif terhadap jumlah mahar/hadiah perkawinan. Faktor geografis, suku, dan agama juga dapat menjelaskan variasi jumlah mahar/hadiah perkawinan pada masyarakat di Indonesia bagian timur. Perempuan yang menikah di provinsi NTT secara rata-rata menerima mahar/hadiah perkawinan yang lebih tinggi dibanding sebagian besar provinsi lainnya di Indonesia. Sementara itu, perempuan yang beragama Islam juga secara rata-rata memperoleh mahar yang lebih tinggi dibanding penganut agama lainnya. Suku Bugis-Makassar-Toraja memperoleh jumlah mahar yang lebih tinggi dibanding suku Ambon, tapi tidak berbeda dengan suku Jawa. Hasil studi ini menyediakan bukti ilmiah terhadap opini yang berkembang di masyarakat mengenai alasan tingginya mahar/hadiah perkawinan.

Penjelasan lebih lengkap dapat diunduh pada lampiran di bawah ini.

Sabtu, 11 Mei 2019 22:24

Potret Infrastruktur di Indonesia

Dalam Keputusan Presiden RI No. 81 Tahun 2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur disebutkan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa pembangunan infrastruktur mencakup sarana dan prasarana perhubungan seperti jalan, jembatan, jalan kereta api, dermaga, pelabuhan laut, pelabuhan udara, penyeberangan sungai dan danau; prasarana dan sarana pengairan seperti bendungan, jaringan pengairan, bangunan pengendalian banjir, pengamanan pantai, dan bangunan pembangkit listrik tenaga air; prasarana dan sarana permukiman, industri dan perdagangan seperti bangunan gedung, kawasan industri dan perdagangan, kawasan perumahan skala besar, reklamasi lahan, jaringan dan instalasi air bersih, jaringan dan pengolahan air limbah, pengelolaan sampah, dan sistem drainase; dan bangunan dan jaringan utilitas umum seperti gas, listrik, dan telekomunikasi.

Infrastruktur merupakan salah satu variabel penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah. Secara makro, infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sementara secara mikro, infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi (Kwik Kian Gie, 2002). Sementara, studi yang dilakukan Aschauer (1989) dan Munnell (1990) menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 60% (Suyono Dikun, 2003). Bahkan dalam studi dari World Bank (1994) disebutkan elastisitas PDB terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07% sampai dengan 0,44%. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi (secara makro dan mikro) serta perkembangan suatu negara atau wilayah.

Daya saing dianggap sebagai salah satu sumber dari ketahanan suatu negara dalam menghadapi tantangan dalam membangun peradaban bangsa. Dengan daya saing tinggi, negara dapat menjaga pertumbuhan ekonominya dan mulai membangun kehidupan negara yang teratur dan saat itu pembangunan peradaban dimulai. GCI indonesia berdasarkan WEF pada tahun 2017/2018 berada pada ranking 36 naik 5 peringkat yang sebelumnya di posisi 41 dari 137 negara. Kenaikan tersebut disumbang oleh kenaikan tiga kelompok pilar yaitu kelompok persyaratan dasar dari ranking 52 menjadi 46, kelompok penopang efisiensi dari ranking 49 menjadi 41, dan kelompok inovasi dari ranking 32 menjadi 31. Khusus untuk infrastrukur sebagai komponen dalam kelompok persyaratan dasar juga mengalami peningkatan ranking yang di tahun 2016 berada pada posisi 60 meningkat menjadi posisi 52 pada tahun 2017. Jika dilihat secara detail mengenai pilar infrastruktur, dari 9 indikator, hanya indikator fixed-telephone lines yang peringkatnya turun, selebihnya terjadi perbaikan peringkat. Jika dibandingkan dengan negara asia tenggara, Indonesia tetap berada di posisi ke 4 di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Lima besar masalah utama penghambat daya saing bisnis adalah masalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak memadai, akses terhadap pembiayaan, dan inflasi (WEF, 2016). Secara khusus, masalah infrastruktur pada tahun 2017 menempati urutan ke-4 yang sebelumnya berada di urutan ke-3 teratas atau masuk dalam 5 besar masalah. Lima faktor utama penghambat daya saing jika diurut dari tahun 2013-2017 memperlihatkan infrastruktur selalu masuk dalam 5 besar masalah daya saing walaupun di tahun 2017 peringkatnya turun. Jika dibandingkan dengan 5 negara lainnya, negara yang berada di posisi 3 teratas (Singapura, Malaysia, dan Thailand), masalah infrastruktur sudah tidak lagi menjadi 5 masalah teratas yang menghambat daya saing negara.

Kondisi Permasalahan Infrastruktur di Indonesia dapat ditelisik dari beberapa faktor. Faktor internal seperti minimnya anggaran negara terhadap pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, faktor eksternal seperti pembebasan tanah. Banyak proyek pembangunan infrastruktur terkendala karena sulitnya pembebasan tanah. penyebab yang sering muncul adalah sulitnya menemukan kesepakatan mengenai harga ganti rugi tanah. Mahalnya harga tanah dipicu oleh pasar tanah yang tidak transparan, kebutuhan akan ruang yang tinggi, dan sistem hukum pertanahan. Secara umum, permasalahan infrastruktur selalu berada pada narasi kompleksitas pertanahan baik dari aspek perizinan maupun penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Selain memiliki dimensi ruang yang luas, sesuai cakupan infrastruktur dalam Keppres no 81 tahun 2008, pembangunan infrastruktur juga diperhadapkan kedalam beberapa permasalahan. Pertama, infrastruktur membutuhkan invetasi yang cukup besar, waktu pengembalian modal yang panjang, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Kedua, pembangunan menjadi prasyarat bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru di berbagai bidang kehidupan. Ketiga, adanya persaingan global dan sekaligus memenuhi permintaan investor baik dari dalam maupun luar negeri (Haris, Kasubdit Pertanahan Bappenas). Selain itu, infrastruktur tidak dikatakan selesai ketika telah dibangun, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana aspek kualitas layanan dan efektivitas pengelolaan dipenauhi dalam operasional infrastruktur  tersebut.

Andi Risfan Rizaldi

Bagaimana self-assesment provinsi-provinsi di KTI memasuki tahun kelima pelaksanaan RPJMN 2014-2019 di wilayahnya? Hal tersebut tentunya menjadi urgent, mengingat saat ini BAPPENAS sudah dalam tahap penyusunan naskah teknokratik RPJMN 2019-2024. Sampai sekarang peran program pembangunan nasional tetap signifikan dalam mendorong pembangunan nasional tetap signifikan dalam mendorong pembangunan regional, terutama dan apalagi pembangunan KTI.

Secara teoritik maupun empirik, kerangka perencanaan pembangunan nasional merupakan payung perencanaan setiap wilayah provinsi, untuk selanjutnya setiap wilayah bisa mengkerangkakan pula kontribusinya melalui perencanaan. Karena itulah sudah menjadi premis bahwa kepentingan pembangunan regional sejatinya merupakan kepentingan pembangunan nasional itu sendiri. Walaupun tentunya wawasan dasarnya tetap bisa dibendakan, yaitu bahwa pembangunan nasional akan lebih menekankan pada wawasan sektoral sedang pembangunan regional lebih mengedepankan wawasan regional atau wilayah. Sejatinya dalam kedua wawasan ini tidak ada dikotomi. Dalam arti, sudut pandang pembangunan regional atau pengembangan wilayah diletakkan di depan, kemudian tentunya akan sangat membutuhkan dukungan pembangunan sektoral.

Dalam perspektif berpikir di atas, ada dua fenomena nyata yang patut dicermati. Pertama, angka Gini Ratio yang memperlihatkan bahwa kondisinya di KTI dalam empat tahun terakhir (2015-2018) masih tinggi dan fluktuatif, bahkan sebagian berada di atas angka Gini Ratio Indonesia. Padahal di sisi lain, pertumbuhan ekonomi setiap provinsi KTI berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional. Itu berarti, pemerataan pedapatan antar kelompok masyarakat di KTI patut mendapatkan perhatian serius ke depan. Apalagi dari angka Gini Ratio terkesan bahwa peningkatan yang terjadi di KTI turut mendorong meningkatnya angka Gini Ratio nasional. Dengan demikian, penanganan terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat di KTI butuh upaya-upaya sistematik dan terukur.

Kedua, Asia Competitiveness Institute, National University of Singapore (ACI-NUS) belum lama ini mempublikasikan temuan awalnya tentang daya saing provinsi-provinsi di Indonesia, memperlihatkan bahwa kondisinya sangat tidak menggembirakan. Provinsi Sulawesi Selatan, yang meskipun tergolong ke dalam 10 provinsi yang tertiggi skornya (0,249), terpaut sangat jauh dengan skor DKI (3,172) yang menduduki peringkat pertama pada tahun 2018 ini. pada peringkat 10 terendah, terdapat enam provinsi di KTI, yaitu Papua, Sulawesi Barat, NTT, Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat. Gambaran ini memperlihatkan bahwa untuk menarik sektor swasta ikut berperan dalam pembangunan KTI masih kurang menarik. Karena itu, mau atau tidak mau, harapan besar masih harus diletakkan pada alokasi program dan penganggaran uang bersumber dari APBN. Pemihakan nyata dalam kerangka pembangunan nasional menjadi hal yang niscaya bagi pembangunan KTI untuk memburu ketertinggalannya dan menyempitkan kesenjangan antar kawasan di tanah air sebagaimana selama ini.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bahwa dengan pencermatan secara lebih jauh terhadap kedua fenomena di atas, pemerataan pendapatan dan kapasitas daya saing wilayah, apa yang di satu pihak akan menjadi kebijakan strategis pada skala nasional, dan di lain pihak agenda strategis yang dipilih oleh masing-masing provinsi untuk di ajukan ke skala nasional. Seyogyanya dapat menjadi kesepahaman bahwa kedua fenomena nyata di atas sulit didekati melalui pendekatan proyek ataupun melalui kegiatan pembangunan yang teknikal. Melainkan membutuhkan suatu kerangka yang bersifat konseptual, berbentuk Program Agenda Aksi.

Sejauh ini sebenarnya melalui skema program pembangunan nasional yang sejatinya diarahkan baik untuk tujuan pemerataan pendapatan maupun untuk meningkatkan daya saing wilayah sudah tersedia. Namun dengan gambaran ke dua fenomena nyata di atas, sekilas dapat disimpulkan bahwa belum mampu mencapai kinerja yang optimal. Selain masih menghadapi sejumlah kendala dan hambatan dalam implementasinya. Nampaknya pengendalian dan tata kelola baik yang ditangani langsung oleh pemerintah (pusat) maupun yang berada dalam kewenangan daerha masih sangat tidak efektif. Meskipun kiranya tidak justru mengemuka dan menjadi ajang saling menyalahkan di antara kedua pemangku kewenangan ini.

Dalam sejarah perkembangan pembangunan di Indonesia selama ini, harus diakui bahwa konseptualisasi dan perumusan program pembangunan pada dasarnya bisa terjustifikasi validitasnya. Tetapi pada akhirnya selalu saja kinerja yang bisa dicapai nyaris selalu kurang optimal. Hal ini mengisyaratkan bahwa di satu sisi ‘planning matters’ masih melekatkan dalam rumusan perencanaan, dan di lain sisi, juga disiplin dan konsistensi dalam implementasi perencanaan masih belum bisa ditegakkan secara baik. Itu berarti, sebelum berbicara lebih banyak dan lebih jauh tentang skema perencanaan pembangunan, kiranya ada masalah manajemen perencanaan pembangunan yang juga perlu mendapatkan porsi perhatian, terutama di KTI sendiri. Pada skala provinsi, mungkin saja rentang kendali manajemen perencanaan pembangunan masih terlalu lebar. Untuk itu, sudah mendesak untuk dipikirkan tentang penguatan kelembagaan perencanaan yang ada saat ini, karena secara umum kapasitas SDM aparat yang dimiliki sudah cukup memadai.

Sejauh ini, selain masalah pemerataan pendapatan dan kapasitas daya saing wilayah, juga tetap mengemuka kepentingan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya teknologi yang tersedia pada masing-masing wilayah provinsi. Kesemuanya ini sepatutnya mampu diintegrasikan dalam suatu kerangka perencanaan, bukan seperti yang kuat terkesan sampai saat ini bahwa kesemuanya baru hadir dalam suatu penjumlahan perencanaan. Permasalahan pokok keintegrasian tersebut akan jelas nampak bila diamati dan dipertanyakan dimana atau siapa yang menjadi leading sector untuk kelembagaan dan pelembagaan perencanaan pembangunannya?. Pada butir ini, suka atau tidak, patut untuk dikemukakan bahwa ‘institutional matters’.

Kehadiran rencana pembangunan jangka menengah maupun jangka tahunan, belumlah dapat dikatakan ‘taken for granted’ akan mampu mencapai kinerja pembangunan sebagaimana yang diharapkan. Mungkin, walaupun naif, dapat dikatakan bahwa sejauh ini terlalu banyak yang mampu direncanakan tetapi tidak banyak hasil yang mampu diperoleh, termasuk hasil kumulatif dalam kinerja pemerataan pembangunan dan daya saing wilayah misalnya. Oleh karena itu, tantangan dan peluang dalam kerangka RPJMN 2019-2024 yang akan datang, bukan hanya terbatas pada kecermatan menemukan sektor strategis provinsi saja, melainkan juga bagaimana mengendalikan dan melakukan tata kelola pencapaian kinerjanya.

Kepentingan pembangunan KTI adalah mengacu dan bertumpu pada manusia yang hidup dan berpijakn di KTI. Itu berarti, yang dibutuhkan adalah kehadiran sektor strtategis yang mampu secara langsung meningkatkan pendapatan nyata masyarakat di KTI, terutama pada kelompok masyarakat 40 persen terbawah dalam ukuran pendapatan pada masing-asing provinsi. Dengan demikian, hasil Susenas dalam berbagai seri dan hasil sensus pertanian 2013, sepatutnya dapat membentuk wawasan perencanaan, bagaimana mengembangkan wilayah di KTI. Dapat diduga bahwa sejumlah unggulan baru yang akan memperkuat sektor strategis yang ingin dikembangkan akan dapat teridentifikasi secara lebih jelas.

Semoga uraian di atas memiliki nilai kontribusi pemikiran dalam Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI 2018 ini. Segenap Focal Point dan jajaran anggota JiKTI di masing-masing provinsi KTI, sebagaimana selama ini, senantiasa siap mendukung dan memberikan peran kontribusinya.

Abdul Madjid Sallatu

*Artikel pertama kali diterbitkan pada Majalah BaKTI.

Indonesia sangat potensial bagi pengembangan produk holtikultura karena posisinya yang berada di garis khatulistiwa. Subsektor Hortikultura memberikan nilai tambah dalam perekonomian Indonesia hampir mencapai Rp160 triliun di tahun 2014, akan tetapi kontribusinya terhadap total PDB Indonesia hanya sebesar 1,5 persen. Subsektor holtikultura terkecil dalam capaian nilai tambah yaitu hanya Rp159,52 Triliun sementara subsektor tanaman pangan dan perkebunan sebesar Rp343,59 Triliun dan Rp397,9 Triliun. Sementara itu, dari total nilai tambah sektor pertanian yang mencapai Rp1.410 Triliun, subsektor holtikultura hanya berkontribusi 11,31 persen yang lagi-lagi jauh di bawah subsektor tanaman pangan dan perkebunan. Dari gambaran data tersebut, peran subsektor holtikultura masih kurang memuaskan. Namun, dilihat dari nilai tambah per luas tanam yang hampir mencapai 8 kali lipat nilai ekonomis tanaman pangan atau 6,5 kali lipat tanaman perkebunan serta nilai tambah per rumah tangga usaha pertanian (RTUP) holtikultura mencapai 1,5 kali lipat dari RTUP tanaman pangan dan perkebunan, subsektor holtikultura justru punya potensi pengembangan yang lebih baik dari tanaman pangan dan perkebunan. Hal ini jelas memperlihatkan potensi tersembunyi tanaman holtikultura yang bisa dipacu dengan kebijakan pertanian yang tepat.

Periode tahun 2010-2014 kebutuhan masyarakat akan produk hortikultura rata-rata sekitar 1,11 kg buah-buahan per kapita tiap tahunnya. Akan tetapi rata-rata nilai konsumsinya meningkat sehingga menjelaskan bahwa harga produk hortikultura meningkat tiap tahunnya dan kebutuhan produk hortikultura secara rata-rata bersifat non komplementer artinya produk tersebut akan terus dikonsumsi walaupun harganya terus meningkat (SHR 2014).

Berdasarkan jumlah RTUP usaha hortikultura strategis yang diusahakan, pisang merupakan komoditi yang paling banyak diusahakan oleh RTUP usaha hortikultura mulai dari Sumatera sampai ke Papua. Dari sisi proyeksi produksi dan konsumsi pisang nasional 2016-2020, rata-rata produksi pisang sebesar 1,98 persen atau 8.059.615 ton pisang pada tahun 2020. Sedangkan untuk sisi permintaan pisang, rata-rata pertumbuhan yaitu defisit (0,52%) atau hanya 1.506.153 ton tahun 2020, sehingga terjadi surplus pisang sebesar 6.553.462 ton pada tahun 2020 atau rata-rata pertumbuhan sebesar 2,60 persen (Pusat Data Dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian). Hal ini menunjukkan bahwa pisang merupakan komoditi yang paling besar menjadi tumpuan pendapatan para petani subsektor hortikultura strategis di lain pihak diperlukan penanganan serius terhadap peningkatan permintaan pisang guna mengimbangi laju produksi pisang nasional. Dengan demikian, peningkatan kualitas dan kuantitas usaha komoditi pisang serta usaha mempromosikan konsumsi pisang menjadi penting untuk ditindaklanjuti.

Pada tingkat Sulawesi Selatan, nilai PDRB tahun 2003 sebesar Rp7,4 triliun bertumbuh sebesar 181,72 persen selama 10 tahun terakhir, sehingga nilainya pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp20,7 triliun.  Fakta yang ada pada periode yang sama, jumlah RTUP subsektor hortikultura mengalami penurunan sebesar 38,93 persen dari sebesar 446 ribu lebih RTUP menurun menjadi 272,5 ribu RTUP (ST2013 BPS Sulawesi Selatan). Akan tetapi, jika melihat nilai PDRB nya, penurunan jumlah RTUP subsektor hortikultura tidak terlalu berpengaruh secara ekonomi karena masih menjadi penyedia lapangan kerja yang cukup banyak yaitu 245,5 ribu atau 82,43 persen pekerja laki-laki dan 52 ribu orang atau 17,57 persen pekerja perempuan. Sedangkan secara khusus untuk potensi tanaman hortikultura tahunan, ST2013 mencatat potensi utama Sulawesi Selatan didominasi oleh buah-buahan tahunan antara lain : pisang, markisa, durian, langsat, rambutan dan mangga dengan jumlah pohon/rumpun antara 600 ribu – 4,6 juta pohon/rumpun. Total produksi buah-buahan di Sulawesi Selatan tahun 2013 mencapai 666,5 ribu ton. Jenis buah yang paling bayak dihasilkan adalah pisang mencapai 28,03 persen dari total buah-buahan yang diproduksi. Jumlah ini meningkat signifikan (25,31%) dari tahun 2012 yang hanya sebesar 149 ribu ton.

ST2013 mencatat petani pisang di Sulawesi Selatan telah menembus angka 112,581 RTUP menurun dari 297.493 RTUP pada tahun 2003. Pada 2013, setiap petani secara rata-rata menanam pisang sebanyak 40 rumpun dengan total rumpun pisang yang ditanam petani mencapai 4,6 juta rumpun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 68 persen sudah menghasilkan pisang 190 ribu ton. Kabupaten pinrang dan bone menjadi penyumbang terbesar pisang dengan menanam masing-masing 779 ribu dan 639 ribu rumpun pisang. Jika dibandingkan dengan tanaman hortikultura tahunan yang punya potensi produksi di Sulawesi Selatan, pisang masih unggul dibanding mangga, duku, jeruk, markisa, rambutan dan durian baik dari segi jumlah RTUP, jumlah pohon/rumpun, dan produksi.

Penurunan jumlah RTUP tanaman pisang pada tahun 2013 patut disayangkan jika dilihat data NTP subsektor Hortikultura yang nilainya dari tahun 2009-2016 selalu berada di atas angka 100. Penurunan RTUP 2013 tersebut juga patut dicermati ditengah kenaikan produksi pisang dan penurunan luas panen dari tahun 2012 ke 2013.  Penurunan tersebut juga patut dipertanyakan ditengah tingginya produksi pisang diantara buah-buahan unggulan Sulawesi Selatan, tren peningkatan harga, serta potensi produk turunan pisang. Selain itu, tren penurunan konsumsi pisang juga memberikan efek negatif terhadap pendapatan petani. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, ada sekitar 112.581 RTUP tanaman pisang di Sulawesi Selatan yang akan merasakan pengurangan atau bahkan kehilangan pendapatan mereka.

Menyadari posisi pisang sebagai tanaman rakyat yang dikenal dan akrab dengan masyarakat, dapat tumbuh di mana saja, dan perawatan relatif mudah dan murah, perlu kiranya untuk lebih memberikan perhatian lebih kepada para petani pisang terkhusus petani gurem untuk bisa memberikan solusi dalam menangani kemiskinan dan ketimpangan yang mereka rasakan. Petani gurem (menurun dari 40,72% tahun 2003 menjadi 37,54% tahun 2013) dan buruh tani merupakan masyarakat yang masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat rentan mengalami gejolak ekonomi. Sebagai salah satu solusi untuk menangani kemiskinan dan ketimpangan petani pisang, salah satu tawaran yang diajukan adalah dengan memperbaiki struktur pendapatan petani pisang dengan menggunakan pendekatan kewilayahan.

Andi Risfan Rizaldi

Pimpinan LOGOV Celebes, Bapak Abdul Madjid Sallatu, diundang oleh Ketua Program Doktor Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Darmawan Salman untuk memberikan kuliah umum terkait dengan penanganan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan ketertinggalan pembangunan pada tanggal 9 Juli 2018 bertempat di Aula Sekolah Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Kuliah umum ini dihadiri oleh mahasiswa pasca sarjana (Magister dan Doktor) dan beberapa guru besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Dalam kesempatan ini, Pimpinan LOGOV Celebes menyampaikan bahwa untuk mempersempit ketimpangan pendapatan di Sulawesi Selatan, sektor pertanian tidak boleh terlalu fokus pada komoditas unggulan. Selama ini pemerintah daerah mengeluarkan banyak sumberdaya (anggaran) untuk mengembangkan komoditas unggulan di Sulawesi Selatan, namun justru petani yang memproduksi komoditas tersebut sebagian besar miskin. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang diajukan adalah fokus pada pengembangan komoditas yang populer di tengah masyarakat Sulawesi Selatan jika ingin menurunkan ketimpangan dan kemiskinan, yang disebut oleh Pak Madjid sebagai komoditas basis. Konsep ini mendapat respon positif dari guru besar fakultas pertanian dan beberapa mahasiswa doktor tertarik untuk mengangkat topik komoditas non-unggulan sebagai bahan penelitian untuk disertasi.

Sebagai penyelenggaran kegiatan, pihak fakultas pertanian universitas hasanuddin mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan LOGOV Celebes atas kesediaannya untuk mau berbagi pengatahuan dengan sivitas akademika Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. [S]

Beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) merupakan salah satu program pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan 21 tahun di Indonesia, namun dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga masih menimbulkan perdebatan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji adanya variasi dampak program Raskin terhadap konsumsi makanan dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2014. Untuk menghitung adanya variasi perilaku konsumsi rumah tangga penerima Raskin pada berbagai kelompok pengeluaran, model estimasi yang digunakan adalah regresi multivariat dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga paling miskin (20% terbawah) secara relatif mengalokasikan sumber daya lebih banyak untuk konsumsi beras dan makanan pokok dibanding rumah tangga yang kurang miskin (20% teratas).Efek substitusi yang diharapkan dari program Raskin juga terjadi, dimana rumah tangga yang kurang miskin secara relatif membelanjakan uang lebih banyak untuk makanan yang bernutrisi, sepertitelur dan susu, daging dan ikan.Namun, proporsikonsumsi rokok dan alkohol juga lebih tinggi pada rumah tangga yang kurang miskin. Hal ini mendorong perlunya perbaikan sasaran dalam program Raskin.

Penjelasan lebih lengkap dapat diunduh pada lampiran di bawah ini.

Meskipun pemerintah Indonesia saat ini fokus untuk mendorong inklusi keuangan, lebih dari setengah populasi orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki rekening bank. Penelitian ini bertujuan mengetahui alasan orang dewasa di Indonesia belum memiliki akun bank (unbanked). Penelitian ini menggunakan data mikro Global Data Findex 2017 dipublikasi oleh World Bank yang kemudian dianalisis dengan menggunakan dua metode yaitu analsis cross tab dan probit. Analisis cross tab bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan alasan tidak punya akun. Sedangkan analisis probit untuk menguji korelasi antara variabel independen (karakteristik responden) dan variabel dependen (alasan tidak memiliki akun bank). Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada delapan alasan mengapa orang dewasa di Indonesia tidak memiliki akun bank yaitu jarak, dokumen, mahal, kepercayaan terhadap lembaga keuangan, agama, keterbatasan uang, salah satu anggota keluarga sudah memiliki, dan merasa tidak butuh layanan perbankan. Dari semua alasan tersebut, jarak dan mahal berkorelasi positif dengan status pekerjaan, kepercayaan berkorelasi negative dengan status pekerjaan, alasan keagamaanberkorelasi negative dengan gender, kekurangan uang berkorelasi negatif dengan kelompok pendapatan dan positif dengan status pekerjaan, kepemilikian akun bank oleh salah satu anggota keluarga berkorelasi positif dengan pendidikan dan kelompok pendapatan, tapi korelasi negative dengan status pekerjaan, sementara ada dua alasan yang tidak ada satupun korelasinya dengan karakteristik yaitu dokumen dan tidak butuh layanan perbankan.

Penjelasan lebih lengkap dapat diunduh pada lampiran di bawah ini.

No society can surely be flourishing and happy, of which by far the greatest part of the numbers are poor and miserable. Adam Smith, The Wealth of Nation, 1776.

Belakang ini, kemiskinan semakin intens menampilkan kisah memilukan. Junaini Mercy, seorang ibu muda di Malang, karena derita kemiskinan, telah melakukan tindakan bunuh diri setelah terlebih dahulu menghabisi nyawa keempat anaknya. Mereka menenggak minuman yang sudah dicampuri racun potasium. Tindakan itu dipilihnya karena ia merasa putus asa atas kehidupan sedang dan bakal dilakoninya. Kemiskinan telah menjeratnya dengan sangat dalam. Sungguh sebuah kisah yang amat tragis.

Sebelumnya, sebuah kisah yang terjadi di Pontianak tak kalah memilukan. Seorang ibu membakar diri bersama anaknya karena tidak mampu lagi membeli beras untuk sekedar makan. Ia kalah dan putus asa. Kemiskinan telah mengubur seluruh harapannya tentang hidup. Bunuh diri dianggap sebagai sebuah "jalan keluar" yang pantas.

Namun, bunuh diri sebagai ekspresi pengakuan atas kekalahan dan keputusasaan ternyata tidak hanya milik orang tua. Fifi Kuesrini, seorang murid kelas II SD memilih cara yang sama karena malu diolok-olok teman-temannya akibat menunggak uang sekolah selama beberapa bulan. Orang tuanya sudah tidak mampu lagi membayar uang sekolah karena kondisi ekonomi keluarganya memburuk. Seluruh perjalanan hidupnya terasa kelam karena derita kemiskinan.

Kathryn Sime dalam tulisannya yang menggugah, melabeli fenomena ini sebagai "the silent disaster", sedangkan PBB menggunakan istilah "the silent tsunami" untuk menjelaskan realitas ini. Lalu, bagaimana memberi penjelasan atas rangkaian tragedi memilukan ini? Mengapa 230 tahun setelah pernytaan Adam Smith, sebagaimana kutipan di awal, kita tetap menyaksikan, atau mungkin tepatnya menonton secara intens "bencana bisu" kemiskinan hadir di mana-mana: di gubuk-gubuk reok pedesaan, di kawasan kumuh perkotaan, di terminal bis, di stasiun kereta, di prapatan jalan raya, di bus-bus umum, di teras restoran mewah, di emperan pusat-pusat perbelanjaan, dan bahkan di pelataran tempat-tempat ibadah.

Saya kira, peristiwa ini tidak bisa ditelisik semata-mata dari perspektif ekonomi, bahwa ketiadaan pekerjaan (pendapatan) yang menyebabkan mereka menderita. Juga tidak bisa dilihat hanya dari sudut kanan sosial, bahwa ketiadaan pendidikan  keterampilan yang mengakibatkan mereka tidak bisa hidup dengan layak. Juga tidak bisa dipotret semata mata dari sudut pandang politik (demokrasi), bahwa ketiadaan akses terhadap keputusan politik, kebijakan publik, dan sumberdaya (aset) yang membuat mereka tidak bisa memperbaiki kulitas hidupnya. Tapi mungkin perlu dipandang dari kacamata moral, bahwa rasa empati dan solidaritas sosial yang hilang dari lingkungan sosialnya yang menjadikan mereka memilih jalan pintas: mengakhiri hidupnya. Dalam konteks ini, kemiskinan jadi sebuah masalah yang komprehensif-holistik, suatu cara pandang yang gagal dipraktekkan oleh pemerintah selama ini.

Bagi pengambil kebijakan, mungkin sudah saatnya kembali merenungkan sejumlah pertanyaan paling mendasar: untuk apa sesungguhnya kita bersusah-payah "membangun"? Untuk apa sebetulnya kita berkeringat mengerjar pertumbuhan Untuk apa sebenarnya kita mengundang investasi dengan sangat bersemangat? Untuk apa kita terus menumpuk hutang luar negeri tanpa jera? Untuk apa kita mengkalkulasi anggaran (APBN) dengan sangat rigid? Mungkin terdapat banyak variasi jawaban atas pertanyaan ini. Tapi sesungguhnya, semuanya bermuara pada satu jawaban: "meningkatkan kesejahteraan masyarakat."

Lalu, Jika pembangunan itu kemudian gagal mensejahterakan masyarakat, atau paling tidak, hanya mensejahterakan sekelompok kecil orang dan mengabaikan sebagian yang lain, pertanyaannya kemudian adalah: apa yang salah? Tentu saja, tidak mudah menemukan sebuah jawaban yang tepat, tegas dan memuaskan. Namun pada tataran konsep, mungkin pendekatan dan cara pandang pembangunan yang dipraktekkan selama ini dapat diangkat sebagai salah satu penyebabnya.

Tanpe pretensi, buku ini mencoba menawarkan sebuah proposal dan perspektif baru mengenai pengentasan kemiskinan di Indonesia. Mudah-mudahan, buku ini dapat memberi "setitik" kontribusi bagi formulasi strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan di masa depan, terutama di Indonesia, agar kemiskinan, kalau tidak bisa dituntaskan, paling tidak wajahnya tidak begitu mengerikan. Kita tidak ingin hari hari kita dipenuhi dengan berita kematian yang memilukan akibat derita kemiskinan.

Makassar, Juni 2008
Agussalim

LAYANAN

  • Penelitian
  • Konsultan
  • Publikasi
  • Seminar
  • Workshop
  • Pelatihan
  • Kerja Sama

KONTAK KAMI

JL. ANCE DG. NGOYO NO. 8/D
MAKASSAR, SULAWESI SELATAN
INDONESIA
90231

  +62-411-4679343
  +62 821 5233 9045
  +62 852 4120 4400
Surel: office@logovcelebes.id
 
          logovcelebes@gmail.com 

FOLLOW

facebook twitter 580b57fcd9996e24bc43c521 youtube

LOGOV CELEBES

PT. Local Governance (LOGOV) Celebes merupakan lembaga riset privat yang berbasis di Makassar. Berisi sejumlah dosen dan peneliti dari berbagai bidang seperti ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, sosial ekonomi pertanian, hukum, kelautan dan perikanan, administrasi publik, dan sosial politik, yang telah bekerja sekian lama sebagai sebuah tim. Lembaga ini melayani sejumlah kegiatan akademis seperti riset, konsultan, pelatihan, publikasi, dan sejumlah layanan terkait lainnya.

© 2024 Logov Celebes. All Rights Reserved.
id ID en EN
Contact Us (WA)