No society can surely be flourishing and happy, of which by far the greatest part of the numbers are poor and miserable. Adam Smith, The Wealth of Nation, 1776.
Belakang ini, kemiskinan semakin intens menampilkan kisah memilukan. Junaini Mercy, seorang ibu muda di Malang, karena derita kemiskinan, telah melakukan tindakan bunuh diri setelah terlebih dahulu menghabisi nyawa keempat anaknya. Mereka menenggak minuman yang sudah dicampuri racun potasium. Tindakan itu dipilihnya karena ia merasa putus asa atas kehidupan sedang dan bakal dilakoninya. Kemiskinan telah menjeratnya dengan sangat dalam. Sungguh sebuah kisah yang amat tragis.
Sebelumnya, sebuah kisah yang terjadi di Pontianak tak kalah memilukan. Seorang ibu membakar diri bersama anaknya karena tidak mampu lagi membeli beras untuk sekedar makan. Ia kalah dan putus asa. Kemiskinan telah mengubur seluruh harapannya tentang hidup. Bunuh diri dianggap sebagai sebuah "jalan keluar" yang pantas.
Namun, bunuh diri sebagai ekspresi pengakuan atas kekalahan dan keputusasaan ternyata tidak hanya milik orang tua. Fifi Kuesrini, seorang murid kelas II SD memilih cara yang sama karena malu diolok-olok teman-temannya akibat menunggak uang sekolah selama beberapa bulan. Orang tuanya sudah tidak mampu lagi membayar uang sekolah karena kondisi ekonomi keluarganya memburuk. Seluruh perjalanan hidupnya terasa kelam karena derita kemiskinan.
Kathryn Sime dalam tulisannya yang menggugah, melabeli fenomena ini sebagai "the silent disaster", sedangkan PBB menggunakan istilah "the silent tsunami" untuk menjelaskan realitas ini. Lalu, bagaimana memberi penjelasan atas rangkaian tragedi memilukan ini? Mengapa 230 tahun setelah pernytaan Adam Smith, sebagaimana kutipan di awal, kita tetap menyaksikan, atau mungkin tepatnya menonton secara intens "bencana bisu" kemiskinan hadir di mana-mana: di gubuk-gubuk reok pedesaan, di kawasan kumuh perkotaan, di terminal bis, di stasiun kereta, di prapatan jalan raya, di bus-bus umum, di teras restoran mewah, di emperan pusat-pusat perbelanjaan, dan bahkan di pelataran tempat-tempat ibadah.
Saya kira, peristiwa ini tidak bisa ditelisik semata-mata dari perspektif ekonomi, bahwa ketiadaan pekerjaan (pendapatan) yang menyebabkan mereka menderita. Juga tidak bisa dilihat hanya dari sudut kanan sosial, bahwa ketiadaan pendidikan keterampilan yang mengakibatkan mereka tidak bisa hidup dengan layak. Juga tidak bisa dipotret semata mata dari sudut pandang politik (demokrasi), bahwa ketiadaan akses terhadap keputusan politik, kebijakan publik, dan sumberdaya (aset) yang membuat mereka tidak bisa memperbaiki kulitas hidupnya. Tapi mungkin perlu dipandang dari kacamata moral, bahwa rasa empati dan solidaritas sosial yang hilang dari lingkungan sosialnya yang menjadikan mereka memilih jalan pintas: mengakhiri hidupnya. Dalam konteks ini, kemiskinan jadi sebuah masalah yang komprehensif-holistik, suatu cara pandang yang gagal dipraktekkan oleh pemerintah selama ini.
Bagi pengambil kebijakan, mungkin sudah saatnya kembali merenungkan sejumlah pertanyaan paling mendasar: untuk apa sesungguhnya kita bersusah-payah "membangun"? Untuk apa sebetulnya kita berkeringat mengerjar pertumbuhan Untuk apa sebenarnya kita mengundang investasi dengan sangat bersemangat? Untuk apa kita terus menumpuk hutang luar negeri tanpa jera? Untuk apa kita mengkalkulasi anggaran (APBN) dengan sangat rigid? Mungkin terdapat banyak variasi jawaban atas pertanyaan ini. Tapi sesungguhnya, semuanya bermuara pada satu jawaban: "meningkatkan kesejahteraan masyarakat."
Lalu, Jika pembangunan itu kemudian gagal mensejahterakan masyarakat, atau paling tidak, hanya mensejahterakan sekelompok kecil orang dan mengabaikan sebagian yang lain, pertanyaannya kemudian adalah: apa yang salah? Tentu saja, tidak mudah menemukan sebuah jawaban yang tepat, tegas dan memuaskan. Namun pada tataran konsep, mungkin pendekatan dan cara pandang pembangunan yang dipraktekkan selama ini dapat diangkat sebagai salah satu penyebabnya.
Tanpe pretensi, buku ini mencoba menawarkan sebuah proposal dan perspektif baru mengenai pengentasan kemiskinan di Indonesia. Mudah-mudahan, buku ini dapat memberi "setitik" kontribusi bagi formulasi strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan di masa depan, terutama di Indonesia, agar kemiskinan, kalau tidak bisa dituntaskan, paling tidak wajahnya tidak begitu mengerikan. Kita tidak ingin hari hari kita dipenuhi dengan berita kematian yang memilukan akibat derita kemiskinan.
Makassar, Juni 2008
Agussalim