Tak lama setelah dilantik sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah mengeluarkan ultimatum bagi perusahaan daerah (Perusda) yang selama ini dianggap membebani APBD. Gubernur Sulawesi Selatan mengancam menghentikan kegiatan operasional Perusda yang dianggap tidak memberikan kontribusi signifikan bagi keuangan daerah. Keresahan Gubernur Sulawesi Selatan harusnya menjadi keresahan bersama seluruh kepala daerah karena selama hampir 20 tahun menerapkan desentralisasi fiskal, alih-alih mengupayakan terwujudnya kemandirian fiskal, sebagian besar daerah justru menunjukkan ketergantunganya terhadap transfer pemerintah.
Sejak tahun 2004-2017 alokasi APBN untuk dana perimbangan terus berambah dan rerata mencapai Rp. 361,49 Triliun atau tumbuh 14,50%. Tingginya alokasi dana perimbangan membuat proporsinya dalam struktur belanja pemerintah sudah mencapai mencapai 29,49% dalam 15 tahun terakhir. Tahun 2017, pemerintah mengalokasi Rp. 654,48 Triliiun untuk mensubsidi keuangan daerah, naik 2,30% dibandingkan tahun 2016 yang mencapai Rp. 639,77 Triliun. Dalam dua tahun tersebut, proporsi dana perimbangan terhadap total belanja pemerintah masing-masing mencapai 34,32% tahun 2016 dan 32,60% tahun 2017.
Di Sulawesi Selatan, sebagian besar kab/kota masih mengandalkan dana perimbangan dalam membiayai urusan daerah. Lima daerah yaitu Kabupaten Toraja Utara, Sinjai, Jeneponto, Soppeng, dan Barru masing-masing memiliki derajat ketergantungan fiskal paling tinggi yaitu 81,82%, 80,28%, 79,93%, 79,84%, dan 79,16% tahun 2017. Tak hanya kelima daerah tersebut, keuangan daerah Sulawesi Selatan juga masih mendapat subsidi dari APBN sebesar 59,13% dalam bentuk dana perimbangan.
Tingginya ketergantungan fiskal disebabkan karena besarnya kebutuhan fiskal dan rendahnya kemampuan pemerintah daerah mengkreasikan sumber-sumber PAD baru. David Osborne dan Ted Gaebler menyebut fenomena ini sebagai “pemerintahan tradisional”, yaitu tata kelola pemerintahan dimana pegawainya lebih mudah berfikir cara menghabiskan anggaran daripada menghasilkan pendapatan. Mayoritas pemerintahan daerah di Indonesia masih “tradisional”, mengandalkan dana perimbangan atau pungutan paksa (pajak daerah) untuk mendanai aktivitas mereka, dua sumber pendapatan daerah yang relatif lebih mudah dikumpulkan.
Membiayai pembangunan dari pajak daerah tentu bukan pelanggaran karena peraturan perundang-undangan memperbolehkan. Tapi potensi pendapatan daerah punya limitasi dan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional dan daerah jika tidak dikelola dengan hati-hati. Pajak Bumi dan Bangunan misalnya sebagai salah satu sumber pendapatan pajak daerah, besaranya sangat tergantung dari jumlah penduduk. Kalau jumlah penduduknya banyak, maka pendapatan pajak daerah dari PBB tentu besar, begitupun sebaliknya.
Kota Makassar bisa menjadi benchmark daerah di Indonesia yang mengandalkan pajak daerah sebagai sumber pendapatan utama dalam struktur PAD. Data dari BPKAD Kota Makassar menunjukan bahwa kontribusi pajak daerah terhadap total PAD Makassar mencapai 70,19% tahun 2017, sementara retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain PAD sah masing-masing hanya menyumbang 5,47%, 3,37%, dan 20,98%. Karena mengandalkan PBB sebagai salah satu sumber pendapatan pajak daerah dan keerbatasan potensi PBB, membuat pemerintah daerah menaikkan NJOP sebesar 300% untuk semua kelas tanah di Kota Makassar demi mencapai target Rp. 1 Triliun PAD. Dengan cara ini, pemerinah daerah berhasil mencapai target tersebut dengan memaksa masyarakat membayar PBB lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Tentu tidak hanya Makassar, sebagian besar daerah di Indonesia masih mengandalkan pajak daerah sebagai sumber pendapatan utama.
Ketergantungan keuangan daerah pada dana perimbangan dan pajak daerah harusnya perlahan mulai berkurang jika semua kepala daerah dan ASN mengadopsi cara berfikir Gale Wilson, mantan manajer Kota Fairfield, California. Ia mengemukakan bahwa di masa depan pajak tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan utama daerah, sehingga para manajer kota/kepala daerah harus mencari sumber pendapatan baru. David Osborne dan Ted Gabler dalam bukunya “Mewirausahakan Birokrasi” menawarkan konsep birokrasi wirausaha sebagai solusi melepaskan ketergantungan fiskal daerah dari dana perimbangan dan pajak daerah.
Konsep birokrasi wirausaha merupakan upaya mentransformasi semangat bisnis ke dalam sektor publik. Konsep sebenarnya mulai diterapkan di Indonesia pasca peralihan sistem dari sentralisasi ke desentralisasi. Sayangnya dijalankan tidak serius oleh sebagian besar pemerintahan daerah provinsi dan kab/kota di Indonesia. Parameternya sederhana, pendapatan daerah masih bergantung pada subsidi APBN dan pajak daerah, sementara kontribusi retribusi dan pengelolaan kekayaan daerah semakin rendah dan cenderung tidak banyak berubah.
Retribusi daerah merupakan salah satu ukuran dalam menilai seberapa besar orientasi bisnis sebuah pemerintahan. Kepala daerah dengan naluri bisnis tinggi akan memanfaatkan semua peluang yang ada untuk menghasilkan pendapatan bagi daerah. Semua daerah di Indonesia pasca pengesahan UU. No 28 Tahun 2009 sudah diperbolehkan untuk memungut tiga jenis retribusi yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Ini seharusnya menjadi peluang memperbesar kapasitas fiskal dan mengurangi ketergantungan jika pemerintah daerah mampu memperbaiki secara berkala (inovatif) layanan mereka.
Sama halnya dengan retribusi, komponen pengelolaan kekayaan daerah juga seharusnya menjadi katalis dalam keuangan daerah di Indonesia. Pengelolaan kekayaan daerah adalah penyertaan modal daerah (investasi) terhadap tiga entitas bisnis yaitu BUMN, BUMS, dan BUMD/Perusahaan Daerah, sehingga potensi pendapatan daerah dari komponen ini bergantung besarnya nilai investasi dan tata kelola perusahaan. Namun sungguh disayangkan, kontribusi pengelolaan kekayaan daerah dalam struktur PAD seluruh daerah di Indonesia yang paling rendah diantara komponen lain, bukan karena rendahnya nilai investasi tapi ada masalah dalam tata kelola Perusda.
Di Sulawesi Selatan misalnya, sepanjang tahun 2013 hingga 2017, komponen pengelolaan kekayaan daerah terhadap PAD rerata hanya berkontribusi 2,90%, sementara kontribusi pajak mencapai 80%. Pemerintah Sulawesi Selatan mengalokasi sebagian anggaranya untuk berinvestasi pada dua perusahaan daerah yaitu Perusda Agribisnis dan Perusda Penjaminan Kredit Daerah. Namun penyertaan modal pemerintah daerah dianggap tidak sepadan dengan deviden yang diberikan kedua Perusda ini yang hanya menyetor rerata Rp. 401,45 Juta. Deviden tersebut hanya bersumber dari Perusda Penjamin Kredit, sementara Perusda Agribisnis berdasarkan pemeriksanaan BPK, tidak menyetor deviden sejak tahun 2013-2017, menunjukkan bahwa daerah mengalami kerugian besar berinvstasi pada dua Perusda tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada semua kab/kota di Sulawesi Selatan, dimana proporsi pengelolaan kekayaan daerah dalam struktur PAD sangat rendah. Lima daerah dengan proporsi paling rendah diantaranya Luwu Utara, Bulukumba, Gowa, Bone, dan Makassar dengan sumbangan pengelolaan kekayaan terhadap PAD masing-masing sebesar 1,39%, 1,63%, 1,72%, 2,40, dan 3,37%. Sementara lima daerah yang proporsi pengelolaan kekayaan daeranya relatif lebih tinggi dari daerah lain adalah Enrekang, Luwu Timur, Selayar, Toraja Utara, dan Soppeng dengan nilai masing-masing yaitu 12,40%, 12,58%, 14,34%, 15,25%, dan 18,28%. Walaupun begitu, secara keseluruhan angka ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih belum serius mempraktikkan birokrasi modern. Menurut Osborne dan Gabler, itu disebabkan karena pemerintah pusat masih mensubsidi keuangan daerah dan masyarakat masih mau membayar pajak daerah sehingga kepala daerah dan ASN malas berfikir tentang sumber pendapatan baru.
Syahril
*Tulisan ini telah dimuat dalam media online Qureta