Bagaimana self-assesment provinsi-provinsi di KTI memasuki tahun kelima pelaksanaan RPJMN 2014-2019 di wilayahnya? Hal tersebut tentunya menjadi urgent, mengingat saat ini BAPPENAS sudah dalam tahap penyusunan naskah teknokratik RPJMN 2019-2024. Sampai sekarang peran program pembangunan nasional tetap signifikan dalam mendorong pembangunan nasional tetap signifikan dalam mendorong pembangunan regional, terutama dan apalagi pembangunan KTI.
Secara teoritik maupun empirik, kerangka perencanaan pembangunan nasional merupakan payung perencanaan setiap wilayah provinsi, untuk selanjutnya setiap wilayah bisa mengkerangkakan pula kontribusinya melalui perencanaan. Karena itulah sudah menjadi premis bahwa kepentingan pembangunan regional sejatinya merupakan kepentingan pembangunan nasional itu sendiri. Walaupun tentunya wawasan dasarnya tetap bisa dibendakan, yaitu bahwa pembangunan nasional akan lebih menekankan pada wawasan sektoral sedang pembangunan regional lebih mengedepankan wawasan regional atau wilayah. Sejatinya dalam kedua wawasan ini tidak ada dikotomi. Dalam arti, sudut pandang pembangunan regional atau pengembangan wilayah diletakkan di depan, kemudian tentunya akan sangat membutuhkan dukungan pembangunan sektoral.
Dalam perspektif berpikir di atas, ada dua fenomena nyata yang patut dicermati. Pertama, angka Gini Ratio yang memperlihatkan bahwa kondisinya di KTI dalam empat tahun terakhir (2015-2018) masih tinggi dan fluktuatif, bahkan sebagian berada di atas angka Gini Ratio Indonesia. Padahal di sisi lain, pertumbuhan ekonomi setiap provinsi KTI berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional. Itu berarti, pemerataan pedapatan antar kelompok masyarakat di KTI patut mendapatkan perhatian serius ke depan. Apalagi dari angka Gini Ratio terkesan bahwa peningkatan yang terjadi di KTI turut mendorong meningkatnya angka Gini Ratio nasional. Dengan demikian, penanganan terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat di KTI butuh upaya-upaya sistematik dan terukur.
Kedua, Asia Competitiveness Institute, National University of Singapore (ACI-NUS) belum lama ini mempublikasikan temuan awalnya tentang daya saing provinsi-provinsi di Indonesia, memperlihatkan bahwa kondisinya sangat tidak menggembirakan. Provinsi Sulawesi Selatan, yang meskipun tergolong ke dalam 10 provinsi yang tertiggi skornya (0,249), terpaut sangat jauh dengan skor DKI (3,172) yang menduduki peringkat pertama pada tahun 2018 ini. pada peringkat 10 terendah, terdapat enam provinsi di KTI, yaitu Papua, Sulawesi Barat, NTT, Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat. Gambaran ini memperlihatkan bahwa untuk menarik sektor swasta ikut berperan dalam pembangunan KTI masih kurang menarik. Karena itu, mau atau tidak mau, harapan besar masih harus diletakkan pada alokasi program dan penganggaran uang bersumber dari APBN. Pemihakan nyata dalam kerangka pembangunan nasional menjadi hal yang niscaya bagi pembangunan KTI untuk memburu ketertinggalannya dan menyempitkan kesenjangan antar kawasan di tanah air sebagaimana selama ini.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bahwa dengan pencermatan secara lebih jauh terhadap kedua fenomena di atas, pemerataan pendapatan dan kapasitas daya saing wilayah, apa yang di satu pihak akan menjadi kebijakan strategis pada skala nasional, dan di lain pihak agenda strategis yang dipilih oleh masing-masing provinsi untuk di ajukan ke skala nasional. Seyogyanya dapat menjadi kesepahaman bahwa kedua fenomena nyata di atas sulit didekati melalui pendekatan proyek ataupun melalui kegiatan pembangunan yang teknikal. Melainkan membutuhkan suatu kerangka yang bersifat konseptual, berbentuk Program Agenda Aksi.
Sejauh ini sebenarnya melalui skema program pembangunan nasional yang sejatinya diarahkan baik untuk tujuan pemerataan pendapatan maupun untuk meningkatkan daya saing wilayah sudah tersedia. Namun dengan gambaran ke dua fenomena nyata di atas, sekilas dapat disimpulkan bahwa belum mampu mencapai kinerja yang optimal. Selain masih menghadapi sejumlah kendala dan hambatan dalam implementasinya. Nampaknya pengendalian dan tata kelola baik yang ditangani langsung oleh pemerintah (pusat) maupun yang berada dalam kewenangan daerha masih sangat tidak efektif. Meskipun kiranya tidak justru mengemuka dan menjadi ajang saling menyalahkan di antara kedua pemangku kewenangan ini.
Dalam sejarah perkembangan pembangunan di Indonesia selama ini, harus diakui bahwa konseptualisasi dan perumusan program pembangunan pada dasarnya bisa terjustifikasi validitasnya. Tetapi pada akhirnya selalu saja kinerja yang bisa dicapai nyaris selalu kurang optimal. Hal ini mengisyaratkan bahwa di satu sisi ‘planning matters’ masih melekatkan dalam rumusan perencanaan, dan di lain sisi, juga disiplin dan konsistensi dalam implementasi perencanaan masih belum bisa ditegakkan secara baik. Itu berarti, sebelum berbicara lebih banyak dan lebih jauh tentang skema perencanaan pembangunan, kiranya ada masalah manajemen perencanaan pembangunan yang juga perlu mendapatkan porsi perhatian, terutama di KTI sendiri. Pada skala provinsi, mungkin saja rentang kendali manajemen perencanaan pembangunan masih terlalu lebar. Untuk itu, sudah mendesak untuk dipikirkan tentang penguatan kelembagaan perencanaan yang ada saat ini, karena secara umum kapasitas SDM aparat yang dimiliki sudah cukup memadai.
Sejauh ini, selain masalah pemerataan pendapatan dan kapasitas daya saing wilayah, juga tetap mengemuka kepentingan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya teknologi yang tersedia pada masing-masing wilayah provinsi. Kesemuanya ini sepatutnya mampu diintegrasikan dalam suatu kerangka perencanaan, bukan seperti yang kuat terkesan sampai saat ini bahwa kesemuanya baru hadir dalam suatu penjumlahan perencanaan. Permasalahan pokok keintegrasian tersebut akan jelas nampak bila diamati dan dipertanyakan dimana atau siapa yang menjadi leading sector untuk kelembagaan dan pelembagaan perencanaan pembangunannya?. Pada butir ini, suka atau tidak, patut untuk dikemukakan bahwa ‘institutional matters’.
Kehadiran rencana pembangunan jangka menengah maupun jangka tahunan, belumlah dapat dikatakan ‘taken for granted’ akan mampu mencapai kinerja pembangunan sebagaimana yang diharapkan. Mungkin, walaupun naif, dapat dikatakan bahwa sejauh ini terlalu banyak yang mampu direncanakan tetapi tidak banyak hasil yang mampu diperoleh, termasuk hasil kumulatif dalam kinerja pemerataan pembangunan dan daya saing wilayah misalnya. Oleh karena itu, tantangan dan peluang dalam kerangka RPJMN 2019-2024 yang akan datang, bukan hanya terbatas pada kecermatan menemukan sektor strategis provinsi saja, melainkan juga bagaimana mengendalikan dan melakukan tata kelola pencapaian kinerjanya.
Kepentingan pembangunan KTI adalah mengacu dan bertumpu pada manusia yang hidup dan berpijakn di KTI. Itu berarti, yang dibutuhkan adalah kehadiran sektor strtategis yang mampu secara langsung meningkatkan pendapatan nyata masyarakat di KTI, terutama pada kelompok masyarakat 40 persen terbawah dalam ukuran pendapatan pada masing-asing provinsi. Dengan demikian, hasil Susenas dalam berbagai seri dan hasil sensus pertanian 2013, sepatutnya dapat membentuk wawasan perencanaan, bagaimana mengembangkan wilayah di KTI. Dapat diduga bahwa sejumlah unggulan baru yang akan memperkuat sektor strategis yang ingin dikembangkan akan dapat teridentifikasi secara lebih jelas.
Semoga uraian di atas memiliki nilai kontribusi pemikiran dalam Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI 2018 ini. Segenap Focal Point dan jajaran anggota JiKTI di masing-masing provinsi KTI, sebagaimana selama ini, senantiasa siap mendukung dan memberikan peran kontribusinya.
Abdul Madjid Sallatu
*Artikel pertama kali diterbitkan pada Majalah BaKTI.